Fenomena “pelari kalcer” kini memasuki babak baru perdebatan mengenai privasi di ruang publik. Di tengah maraknya tren olahraga lari yang disertai keinginan tampil estetik untuk kebutuhan konten digital, sejumlah fotografer dadakan dilaporkan memotret para pelari saat beraktivitas di ruang terbuka, kemudian mengunggah hingga memperjualbelikan foto-foto tersebut melalui marketplace tanpa persetujuan dari pihak yang terekam di dalam gambar. Praktik ini memicu kekhawatiran terkait penyalahgunaan potret, etika pemanfaatan data visual, serta potensi pelanggaran hukum.
Ahli hukum menegaskan bahwa lokasi pengambilan gambar yang berada di ruang publik tidak serta-merta menjadikan foto bebas dipergunakan untuk kepentingan komersial. Dalam ketentuan hukum Indonesia, pemanfaatan potret seseorang untuk tujuan ekonomi tetap memerlukan izin eksplisit dari individu yang wajah atau identitasnya tampak jelas di dalam foto. Undang-Undang Hak Cipta mengakui fotografi sebagai karya yang dilindungi, namun pada saat yang sama prinsip hak atas citra diri (right of publicity) memberi hak kepada seseorang untuk mengendalikan penggunaan identitas visualnya, terutama dalam konteks komersialisasi. Dalam kasus tertentu, praktik jual-beli foto tanpa izin juga dapat beririsan dengan ketentuan KUHP maupun Undang-Undang ITE apabila konten tersebut menimbulkan kerugian, pencemaran, atau pelanggaran privasi.
Akademisi dan pemerhati privasi menilai fenomena ini sebagai penanda penting bahwa ruang publik bukanlah ruang tanpa batas hukum. Mereka mendorong adanya penegasan regulasi lanjutan serta peningkatan literasi hukum bagi fotografer, kreator konten, peserta event lari, maupun pelaku industri digital agar tidak terjadi pelanggaran yang mungkin dianggap sepele. Di sisi lain, platform marketplace juga diminta memperketat kebijakan unggahan dan mempercepat mekanisme penanganan laporan bagi individu yang fotonya dijual tanpa persetujuan.
Fenomena “pelari kalcer” pada akhirnya bukan sekadar persoalan gaya hidup olahraga, tetapi membuka diskursus lebih luas mengenai etika, perlindungan hukum atas citra diri, dan tanggung jawab dalam ekosistem digital. Para ahli mengingatkan, jarak antara tren dan pelanggaran hanya dipisahkan oleh satu prinsip mendasar: izin. Tanpa kejelasan izin, sebuah foto estetik lari pagi dapat berubah menjadi sengketa hukum di ruang nyata.
