Setiap pagi, derap langkah kecil terdengar di tepian Waduk PLTA Cirata, Desa Margaluyu, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat. Anak-anak berseragam putih merah itu berjalan cepat menapaki tanah licin sejauh hampir 30 menit menuju satu-satunya “jembatan” yang mereka miliki — sebatang rakit bambu yang sudah mulai lapuk dimakan usia.
Di depan mata mereka, rumah sudah terlihat. Namun untuk benar-benar sampai, mereka harus menyeberang waduk dengan rakit rapuh yang ditarik menggunakan tali oleh warga. Di sisi lain, kabel listrik menjuntai rendah, nyaris menyentuh permukaan air. Dua bahaya mengintai: tenggelam atau tersengat listrik.
“Kadang suka deg-degan kalau lewat sini,” tutur Lia Amelia (20), guru SDN Cibungur Kelas Jauh Cijuhung yang setiap hari ikut menumpang rakit bersama murid-muridnya.
Lia tahu betul risiko yang dihadapi murid-muridnya. Tapi di kampung ini, sekolah bukan sekadar kewajiban — melainkan perjuangan. Sementara sebagian anak di kota pergi ke sekolah dengan nyaman, anak-anak Margaluyu masih harus menantang maut agar tidak tertinggal pelajaran.
Di tengah kemajuan zaman dan janji pemerataan pendidikan, potret seperti ini masih nyata di Bandung Barat. Bukan karena mereka tak ingin berubah, tetapi karena fasilitas dan perhatian belum benar-benar sampai ke tepian waduk tempat mereka berdiri.
