
Menteri BUMN Erick Thohir tak kuasa menahan air mata saat menyampaikan pidato perpisahan di hadapan jajaran pegawai. Suasana haru menyelimuti ruangan ketika Erick terbata-bata mengucapkan permohonan maaf atas segala kata dan sikap yang mungkin kurang berkenan selama enam tahun kepemimpinannya. Sejak dilantik pada Oktober 2019, Erick memimpin Kementerian BUMN dengan agenda besar transformasi, efisiensi, serta restrukturisasi sejumlah perusahaan milik negara.
Air mata yang jatuh dalam pidato itu mencerminkan sisi emosional seorang pejabat publik yang meninggalkan jabatan strategis dengan beban tanggung jawab besar. Erick menekankan bahwa nilai kemanusiaan, integritas, dan gotong royong harus tetap dijaga oleh para pegawai, karena bangsa ini membutuhkan orang-orang baik yang mampu bekerja untuk kepentingan publik.
Namun di balik suasana perpisahan yang penuh keharuan, publik tetap menaruh perhatian pada capaian dan tantangan yang ditinggalkan. Transformasi BUMN memang menghasilkan sejumlah perbaikan, tetapi masih ada pekerjaan rumah besar seperti persoalan utang dan kinerja perusahaan yang belum sepenuhnya pulih. Pergantian kepemimpinan ke tangan Pelaksana Tugas Menteri BUMN Dony Oskaria diharapkan mampu menjaga kesinambungan program serta melanjutkan reformasi yang telah dirintis.
Pidato perpisahan Erick Thohir menjadi simbol bahwa jabatan adalah amanah yang suatu saat akan berganti tangan. Tangisnya bukan sekadar ungkapan pribadi, melainkan pesan bahwa kepemimpinan tidak hanya diukur dari capaian angka, tetapi juga dari hubungan manusiawi dan komitmen moral kepada bangsa. Kini publik menunggu apakah warisan kerja Erick dapat diteruskan dan ditingkatkan, atau justru memerlukan arah baru yang lebih berani.