
sumber : https://rad.engr.tamu.edu/
Di laboratorium yang sunyi di Texas A&M University, sebuah gagasan yang dulu dianggap imajinatif kini terus digodok menjadi kenyataan: robot bola sferis bernama RoboBall, desain lama yang diperbarui agar bisa merayap di medan ekstrem, berjalan dari air ke darat, dan menembus wilayah yang bahkan rover beroda atau berkaki pun kesulitan menjangkaunya. Inovasi ini bukan hanya soal teknologi futuristik; ia menjadi cermin bahwa manusia menggali cara baru untuk mengeksplorasi alam semesta sekaligus merespons kerentanan di bumi sendiri.
RoboBall lahir dari pemikiran Dr. Robert Ambrose di NASA pada 2003—sebuah robot yang tidak memiliki “atas” atau “bawah”, sebuah bola sempurna yang tidak bisa terbalik. Konsep itu kemudian mengendap sampai Ambrose kembali membawa proyek ini ke Texas A&M pada 2021, dengan dukungan dana riset universitas dan negara bagian. Dua mahasiswa pascasarjana, Rishi Jangale dan Derek Pravecek, memimpin pengembangan prototipe terbaru sejak 2022. Versi kecil, RoboBall II, diameter sekitar 2 kaki, digunakan untuk pengujian di laboratorium: kontrol, daya, algoritma kontrol, semua diuji. Versi besar, RoboBall III, diameter sekitar 6 kaki, dirancang mampu membawa muatan—sensor, kamera, alat sampling—menuju misi nyata.
Tantangan teknis tidak sedikit. Karena desainnya berbentuk bola dan dibungkus shell pelindung, setiap kerusakan mekanikal berarti harus membongkar shell dan komponen dalamnya—mirip operasi jantung terbuka dalam tubuh robot. Sensor yang terlepas atau motor yang rusak tak bisa langsung diakses dari luar. Demikian pula soal adaptasi transisi medan: transisi dari darat ke air, atau sebaliknya, menuntut daya apung, cengkeraman, dan sistem penggerak internal yang fleksibel dan kuat.
Pengujian lapangan direncanakan di pantai Galveston, di mana RoboBall akan diuji mengatasi transisi antara air dan pasir. Apakah robot bola bisa meluncur keluar dari ombak ke pantai tanpa terguling atau kehilangan kontrol? Apakah tekanan air dan gesekan pasir bisa ditanggulangi? Semua itu, jika berhasil, membuka kemungkinan aplikasi yang jauh melampaui eksplorasi luar angkasa: misi pencarian dan penyelamatan setelah bencana alam, misi pemetaan wilayah yang sulit dijangkau, serta pemantauan lingkungan ekstrem.
Di balik keajaiban teknologinya, ada pertanyaan mendalam yang tak boleh diabaikan: untuk apa dan untuk siapa teknologi ini dikembangkan? Apakah prioritasnya penerokaan planet lain, ataukah yang lebih mendesak: menyelamatkan nyawa manusia di bumi? Apakah sumber daya, dana, dan tenaga manusia yang dicurahkan ke proyek ini akan seimbang dengan manfaat nyata yang dirasakan masyarakat umum, terutama di wilayah yang rentan terhadap bencana dan krisis iklim?
Agama mengajarkan bahwa segala keilmuan dan usaha harus berada dalam koridor maslahat (kemaslahatan) dan keadilan. Teknologi boleh berkembang cepat, tapi jangan sampai kita terjebak dalam euforia inovasi tanpa memperhatikan dampak sosial dan ekologisnya. Manusia diciptakan sebagai pelayan alam dan sesama manusia, bukan sebagai makhluk yang mengeksploitasi alam untuk keinginan yang semata-mata spektakuler. Teknologi yang paling brilian sekalipun akan hampa nilainya bila hanya dinikmati segelintir orang, dan membiarkan banyak orang lain terus berjuang dalam kelaparan, ketidakamanan, dan kerentanan terhadap bencana.
Proyek seperti RoboBall membawa harapan besar: membuka kemungkinan baru untuk mengeksplorasi bulan, krater, atau medan yang sebelumnya mustahil dijangkau. Ia bisa menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan tinggi dan kebutuhan mendasar umat manusia—jika diarahkan dan dikelola secara etis. Di sinilah tanggung jawab kita bersama: ilmuwan agar tetap mengutamakan keselamatan dan kemaslahatan manusia; pemerintah agar menjamin bahwa inovasi diawasi; dan masyarakat agar tetap kritis, tidak terbuai hanya oleh kemegahan teknologi, melainkan menuntut bahwa setiap lompatan sains benar-benar membawa keadilan, keselamatan, dan kesejahteraan untuk semua.