
Parongpong, 28 Juni 2025 – Dalam perkembangan terbaru yang kembali menunjukkan tekanan unilateral Amerika Serikat terhadap Iran, Presiden Donald Trump menyatakan bahwa dirinya siap melancarkan serangan militer ke Iran “jika terlihat” ada aktivitas pengayaan uranium yang menurutnya mengkhawatirkan—meski tanpa bukti konkret atau konfirmasi dari lembaga internasional independen.
Pernyataan ini muncul setelah Senat AS menolak resolusi yang diajukan Partai Demokrat untuk membatasi wewenang presiden dalam melakukan aksi militer terhadap Iran tanpa persetujuan kongres. Langkah ini memperkuat kekhawatiran bahwa jalur diplomasi dan pengawasan internasional kembali diabaikan, digantikan oleh pendekatan koersif dan sepihak.
Menariknya, Presiden Trump juga mengklaim bahwa Iran telah meninggalkan ambisi nuklirnya. “Saya yakin Iran sudah menyerah terhadap keinginan memiliki senjata nuklir,” ujarnya dalam konferensi pers. Namun, pernyataan tersebut justru memperlihatkan kontradiksi ketika ia di saat yang sama menyatakan kesiapan untuk “mengebom” Iran lagi jika diperlukan.
Ketidakjelasan semakin mencolok ketika Trump menyebut bahwa “pihak yang dihormati, termasuk kita sendiri,” akan melakukan inspeksi atas program nuklir Iran—tanpa penjelasan siapa yang dimaksud dan tanpa mengacu pada Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang selama ini diakui dunia sebagai badan netral dalam hal ini.
Bagi sebagian pengamat independen, retorika Washington terhadap Iran dinilai sebagai bentuk provokasi yang justru memperkeruh upaya stabilitas kawasan. Sementara Iran sendiri tetap menegaskan bahwa program nuklirnya adalah untuk tujuan damai dan telah berada di bawah pengawasan internasional sejak lama.
Di tengah iklim geopolitik yang terus memanas, penting bagi komunitas internasional untuk tidak terjebak dalam logika konflik, namun justru memperkuat jalur diplomasi, kerja sama multilateral, dan penghormatan terhadap kedaulatan negara.
Oleh : Yuri muhammad sofyan