
Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan Republik Indonesia yang baru, menegaskan bahwa setiap rupiah yang dikelola negara adalah amanah untuk rakyat. Dalam pidato serah terima jabatan yang berlangsung di Jakarta, Purbaya menyatakan bahwa tugasnya datang di tengah ketidakpastian global yang makin kompleks—mulai dari tren geopolitik, perkembangan teknologi, hingga tekanan ekonomi global. Tantangan tersebut, menurut Purbaya, bukan sekadar ujian, melainkan panggilan agar kebijakan fiskal dan pengelolaan keuangan negara lebih tangguh, akuntabel, dan adil.
Purbaya menekankan bahwa stabilitas fiskal bukan pilihan, melainkan keharusan jika Indonesia hendak menjaga daya beli masyarakat, memperkecil ketimpangan, dan memastikan keadilan sosial. Untuk mewujudkan semua itu, ia meminta dukungan penuh dari semua jajaran Kementerian Keuangan agar program prioritas nasional yang sudah dirancang benar-benar selaras dengan tujuan pembangunan. Ia juga memberi penghormatan kepada pendahulunya, Sri Mulyani Indrawati, atas reformasi institusi yang telah diletakkan, efisiensi anggaran, dan pencapaian pemulihan ekonomi selama pandemi.
Salah satu tonggak penting yang diangkat adalah bagaimana kementeriannya melalui UU-uu strategis turut memperkuat kerangka fiskal dan kelembagaan negara. Di antaranya adalah Omnibus Law, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Semua ini, menurut Purbaya, menjadi fondasi untuk menghadapi guncangan ekonomi global, menjaga kesehatan spf fiskal, dan mendorong pertumbuhan yang inklusif.
Namun demikian, komitmen “setiap rupiah adalah amanah” itu sekaligus menuntut pertanyaan kritis: bagaimana mekanisme kontrol dan transparansi akan dijamin? Bagaimana kementerian memastikan bahwa penggunaan anggaran untuk program-program prioritas nasional tidak diserap dalam birokrasi yang lamban atau praktik-praktik yang kurang produktif? Seberapa kuat instrumen kebijakan fiskal saat menghadapi tekanan eksternal seperti perubahan suku bunga internasional, pergeseran rantai pasok global, fluktuasi nilai tukar, dan risiko geopolitik?
Purbaya mewarisi tantangan yang tidak ringan. Pemerintah harus menjaga keseimbangan antara stimulus bagi pemulihan ekonomi dan ketahanan fiskal. Jika terlalu longgar, bisa mengundang inflasi dan defisit; jika terlalu ketat, pertumbuhan bisa stagnan dan warga miskin terdampak lebih dulu. Reformasi kelembagaan dan legislasi yang disebutnya memang penting, tapi efektivitasnya tergantung pada implementasi: bagaimana aparatnya, regulasinya, dan pengawasannya. Pengelolaan fiskal bukan hanya masalah konteks makro; rakyat akan menilai dari dampak nyata: pelayanan publik, subsidi, pembangunan infrastruktur, serta keadilan dalam distribusi fiskal pusat dan daerah.
Dalam perspektif lebih luas, visi Purbaya menunjukkan bahwa Indonesia memasuki fase baru pengelolaan keuangan negara yang menuntut bukan hanya kebijakan yang hebat, tetapi tata kelola yang transparan dan partisipatif. Rakyat bukan hanya sebagai objek kebijakan, melainkan pemilik amanah moral yang menuntut akuntabilitas. Ke depan, tindakan nyata—pelaporan publik, audit independen, partisipasi masyarakat—akan menjadi tolok ukur apakah amanah itu bukan sekadar jargon, melainkan kenyataan.