
Beberapa hari terakhir, publik dihebohkan oleh reaksi tajam Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, ketika mendengar bahwa rata-rata tarif cukai hasil tembakau (CHT) telah mencapai ± 57%. Dalam pernyataannya, ia bahkan menyebut besaran tersebut sebagai “tinggi amat, firaun lu”, sebagai ekspresi kagetnya terhadap proporsi cukai dibandingkan kemampuan industri dan konsumen.
Kenapa Reaksi Ini Penting untuk Dipahami?
-
Daripada hanya jadi headline viral, ada substansi kebijakan
Besaran cukai rokok bukan hal baru diperdebatkan. Tapi ketika Menkeu sendiri menyatakan kebingungan, ini memicu pertanyaan lebih dalam: apakah struktur tarif cukai sudah mempertimbangkan berbagai aspek sosial-ekonomi? -
Dampak bagi industri dan konsumen
Tarif yang tinggi bisa bermotif fiskal: menaikkan pemasukan negara. Namun di sisi lain, bisa membebani konsumen, mendorong pasar gelap, atau memicu praktik penghindaran cukai (illicit trade). Bagi perokok, terutama yang berada di kelompok ekonomi rendah atau menengah ke bawah, dampaknya nyata terhadap daya beli. Bagi industri, terutama industri kecil dan menengah, struktur biaya bisa jadi sangat membebani. -
Keseimbangan antara kesehatan publik dan keadilan fiskal
Salah satu tujuan cukai rokok adalah mengurangi konsumsi rokok karena dampak kesehatan. Tapi apabila tarifnya terlalu tinggi tanpa tahap transisi atau tanpa proteksi sosial, bisa timbul ketidakadilan—baik antar wilayah, antar kelas ekonomi, bahkan antar generasi.
Kritik Konstruktif: Pertanyaan yang Perlu Dijawab Pemerintah
-
Bagaimana metodologi penghitungan tarif cukai saat ini? Apakah sudah mempertimbangkan inflasi, daya beli masyarakat, dan kemampuan produksi lokal?
-
Seberapa efektif kebijakan tarif ini dalam menurunkan prevalensi merokok, terutama di kelompok berpendapatan rendah?
-
Apakah ada piranti mitigasi agar odose dampak negatif—misalnya subsidi kesehatan, edukasi publik, pengawasan terhadap pasar gelap?
-
Bagaimana sinkronisasi regulasi cukai dengan kebijakan pengendalian tembakau (kurikulum Kementerian Kesehatan, kampanye antirokok, dan regulasi iklan/promosi)?
Pelajaran dan Implikasi Jangka Panjang
-
Kebijakan fiskal seperti cukai bukan hanya soal penerimaan negara, tetapi juga soal kesejahteraan masyarakat. Jika tidak diatur proporsional, bisa menambah beban yang tak semestinya.
-
Transparansi dalam tarif cukai dan pendekatan batas toleransi bagi industri kecil harus terus disuarakan agar kebijakan dirasakan adil.
-
Perubahan kebijakan publik—termasuk cukai—harus dibarengi monitoring dan evaluasi pasca-implementasi agar dampak yang muncul, negatif maupun positif, bisa segera dilihat dan dikoreksi.
Apa yang Harus Dilakukan Sekarang?
Sebagai media yang kritis tetapi membangun, Suaralembang.com menilai bahwa momen “syok” Menteri Keuangan ini seharusnya dijadikan katalis bagi dialog publik dan kebijakan yang lebih inklusif. Pemerintah perlu membuka ruang konsultasi, melibatkan berbagai pemangku kepentingan (industri, akademisi, masyarakat sipil) untuk menyusun tarif cukai yang adil, transparan, dan proporsional—yang tidak hanya mengejar penerimaan, tapi juga memperhatikan dampak sosial dan kesehatan.