
Sumber : Kompas
Isu mengenai gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung kembali menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Berdasarkan Perda Kota Bandung Nomor 6 Tahun 2017 serta Perwal Nomor 22 Tahun 2024, setiap anggota dewan menerima gaji dan berbagai tunjangan dengan jumlah yang dinilai fantastis, bahkan menembus lebih dari Rp 90 juta per bulan.
Ketua DPRD Kota Bandung, Asep Mulyadi, misalnya, mendapatkan uang representasi Rp 2,1 juta, tunjangan jabatan Rp 3,045 juta, tunjangan komunikasi Rp 14,7 juta, tunjangan perumahan Rp 58 juta, serta tunjangan transportasi Rp 16 juta. Total penerimaan tersebut jelas sangat besar jika dibandingkan dengan rata-rata penghasilan masyarakat Kota Bandung.
Menariknya, Ketua DPRD sendiri mengaku tidak mengetahui secara detail komponen gaji dan tunjangan yang diterimanya. Hal ini menimbulkan pertanyaan publik: jika para wakil rakyat tidak tahu pasti besaran hak mereka, bagaimana mereka bisa memastikan akuntabilitas dan transparansi kepada masyarakat?
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD, Edwin Senjaya, menyebutkan bahwa setelah dipotong pajak dan kewajiban iuran partai, take home pay anggota dewan rata-rata hanya sekitar Rp 40 juta. Meski demikian, angka tersebut tetap jauh di atas pendapatan mayoritas warga Bandung yang masih bergelut dengan biaya hidup tinggi, ketidakpastian kerja, dan keterbatasan akses layanan publik.
Kondisi ini menimbulkan kontras yang tajam. Di satu sisi, masyarakat dihadapkan pada berbagai tantangan ekonomi, sementara di sisi lain, wakil rakyat menikmati tunjangan rumah hingga Rp 58 juta per bulan. Wajar jika publik menilai adanya ketimpangan yang tidak sejalan dengan semangat perwakilan rakyat.
Pernyataan DPRD yang siap dievaluasi seharusnya ditindaklanjuti dengan langkah nyata. Transparansi, keterbukaan informasi, dan keberanian untuk menyesuaikan tunjangan sesuai dengan kondisi riil masyarakat adalah hal yang mendesak. Tanpa itu, kepercayaan publik terhadap DPRD akan semakin tergerus.
Pada akhirnya, pertanyaan besar masih menggantung: apakah gaji dan tunjangan besar ini benar-benar mencerminkan kerja nyata untuk rakyat, atau justru memperlebar jurang ketidakadilan di tengah masyarakat Kota Bandung?.