
Melbourne, Australia – Pakar hukum tata negara, Prof. Denny Indrayana, yang kini menetap di Anglesea, Melbourne, Victoria, Australia, menyampaikan pandangan kritisnya terkait wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Dalam sebuah video pernyataan yang dirilis ke publik, Denny menjelaskan secara detail mekanisme pemakzulan berdasarkan konstitusi serta tantangan politik yang menyertainya.
Menurut Denny, isu pemakzulan Gibran bukan sekadar wacana politik, tetapi memiliki dasar hukum yang jelas di dalam konstitusi Indonesia. Ia menanggapi sejumlah rekomendasi politik yang mulai mengarah pada kemungkinan pemakzulan Gibran oleh elite partai di tanah air.
Dasar Hukum Pemakzulan Gibran
Denny mengacu pada Pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa:
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, atau jika tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden.
Dengan demikian, jika terdapat bukti kuat bahwa Gibran melakukan salah satu dari pelanggaran tersebut, proses pemakzulan dapat dimulai secara konstitusional.
Langkah-Langkah Pemakzulan:
Denny menjabarkan bahwa pemakzulan harus melewati tahapan formal dan melibatkan tiga lembaga negara, DPR, MK dan MPR dengan tahapan sebagai berikut :
1. DPR mengusulkan pemakzulan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
2. MK memeriksa, mengadili, dan memutuskan apakah Gibran terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
3. Jika MK menyatakan Gibran melanggar, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dapat menyelenggarakan sidang untuk memberhentikannya dari jabatan Wakil Presiden.
Prosedur ini menunjukkan bahwa pemakzulan bukanlah keputusan sepihak, tetapi harus melalui proses hukum yang jelas dan berlapis.
Isu Korupsi dan Syarat Jabatan
Denny menegaskan bahwa Gibran harus bebas dari tuduhan korupsi atau tindak pidana berat untuk tetap menjabat sebagai Wakil Presiden. Ia juga mengingatkan bahwa tidak boleh ada proses hukum yang sedang berjalan atau putusan pengadilan yang dapat menggugurkan status hukum Gibran sebagai pejabat negara.
Ia menyoroti pula bahwa terdapat tiga syarat utama bagi calon Presiden dan Wakil Presiden yang menurutnya masih buram dalam kasus Gibran, salah satunya terkait dengan putusan pengadilan yang bersifat tetap.
Dugaan Pelanggaran Bisa Jadi Dasar Pemakzulan
Dalam pernyataannya, Denny juga mengutip pendapat Prof. Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa dugaan pelanggaran hukum dapat dijadikan dasar untuk memulai proses pemakzulan, meskipun belum ada putusan hukum yang inkracht.
Tantangan Politik dalam Pemakzulan
Namun demikian, Denny tidak menutup mata terhadap realitas politik. Ia menegaskan bahwa pemakzulan bukan hanya soal hukum, tetapi juga sarat pertarungan politik, terutama di tingkat pimpinan partai politik. Ia mengingatkan bahwa proses ini akan menemui banyak rintangan, sebab tidak semua elite partai memiliki keberanian atau kemauan untuk menempuh jalur konstitusional tersebut.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa pemakzulan bukan urusan pribadi terhadap Presiden Jokowi, melainkan soal menegakkan prinsip negara hukum dan menjaga integritas konstitusi.
Seruan untuk Tegakkan Konstitusi
Menutup pernyataannya, Denny Indrayana menyerukan agar semua pihak menjunjung tinggi konstitusi dalam menyikapi posisi Gibran sebagai Wakil Presiden. Ia menekankan bahwa proses pemakzulan harus dilakukan bukan karena tekanan politik atau kepentingan kelompok tertentu, melainkan murni karena pelanggaran terhadap hukum dasar negara.
Meski berada di luar negeri, Denny menyatakan bahwa ia akan terus menyuarakan kebenaran dan berkontribusi untuk Indonesia yang lebih baik. Video ini memberikan wawasan penting mengenai mekanisme hukum dan dinamika politik di balik wacana pemakzulan Gibran, dengan pesan utama: hukum dan konstitusi harus tetap menjadi panglima dalam kehidupan bernegara.