
Parongpong, 28 Juni 2025 — Dunia kembali diguncang ketegangan geopolitik. Serangan wacana dan senjata silih berganti di kawasan Timur Tengah, memunculkan luka baru di antara yang lama belum sembuh: Iran ditekan, Palestina digempur, dan kekuatan besar seperti Amerika serta Israel terus memperlihatkan hegemoninya. Di tengah derasnya arus informasi dan narasi global, umat Islam di seluruh penjuru dunia dituntut untuk tidak hanya peka, tetapi juga bijak dan proporsional dalam menyikapi konflik ini.
Netral Bukan Diam, Emosional Bukan Solusi
Sebagian umat, terutama dari kalangan pelajar, pekerja, hingga tokoh agama, kadang terseret dalam arus emosi yang dipicu oleh informasi sepihak, potongan video provokatif, atau headline media internasional yang seringkali tidak adil pada dunia Islam. Padahal, Islam mengajarkan kita untuk tabayyun (klarifikasi) dan tadabbur (perenungan mendalam) sebelum bersikap.
Netral bukan berarti lepas tanggung jawab, namun merupakan bentuk kehati-hatian dalam menjaga ukhuwah Islamiyah dan mencegah perpecahan internal yang seringkali lebih merusak daripada musuh eksternal. Emosi yang tidak terarah bisa memicu kebencian lintas mazhab, suku, atau negara yang sebenarnya satu tubuh dalam Islam.
Membedakan Agama, Negara, dan Mazhab
Konflik antara Iran dan negara Barat, atau antara Palestina dan Israel, tidak hanya tentang agama — tetapi juga tentang politik negara, perebutan sumber daya, serta kepentingan ekonomi dan militer global. Menyikapi Iran, misalnya, harus dilihat sebagai bagian dari umat yang memiliki perbedaan mazhab (Syiah), namun tetap memiliki hak kedaulatan, hak mempertahankan diri, dan kontribusi terhadap dunia Islam.
Umat Islam tidak boleh terjebak pada konflik horizontal seperti menyudutkan sesama Muslim karena perbedaan mazhab. Islam tidak mengajarkan fanatisme sempit. Yang diperintahkan adalah keadilan, bahkan kepada musuh, dan persatuan, bahkan dalam keberagaman.
Langkah-Langkah Realistis dan Solutif untuk Umat Islam:
1. Literasi Krisis Global: Umat Islam, terutama pelajar dan profesional, harus membekali diri dengan pemahaman politik internasional berbasis sumber terpercaya. Jangan hanya mengandalkan media Barat atau akun sosial yang bombastis.
2. Bangun Kekuatan Internal: Para pengusaha, pekerja, dan tokoh masyarakat bisa mendorong penguatan ekonomi umat sebagai fondasi utama kemerdekaan politik dan peradaban. Kemandirian ekonomi adalah benteng pertama melawan penjajahan modern.
3. Solidaritas Kemanusiaan: Dukung Palestina, dan siapapun yang terzalimi, dengan aksi nyata: donasi, edukasi, dan kampanye damai. Namun tetap dalam kerangka legal, elegan, dan tidak kontraproduktif terhadap stabilitas umat Islam sendiri.
4. Peran Tokoh Agama: Ulama, ustadz, dan tokoh agama harus menjadi penyejuk, bukan pemicu emosi umat. Mereka perlu menegaskan bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, dan setiap konflik harus disikapi dengan nalar, bukan hanya narasi.
5. Diplomasi dan Doa: Bagi pemimpin negeri dan ormas Islam, saatnya memperkuat diplomasi antarpemerintah dan antarlembaga Islam dunia. Islam itu berdaulat, adil, dan makmur, dan itu harus ditampilkan melalui strategi, bukan hanya slogan.
Umat Islam tidak sedang lemah, hanya perlu kebijaksanaan. Islam adalah peradaban, bukan sekadar reaksi. Maka dari itu, bersikaplah adil dalam marah, proporsional dalam mendukung, dan lurus dalam berpihak. Tidak semua suara lantang mencerminkan kebenaran. Dan tidak semua yang diam berarti menyerah. Islam adalah agama yang tahu kapan harus diam, kapan harus melangkah, dan kapan harus memimpin dunia.
Oleh : Yuri muhammad sofyan