
Regim Assad, salah satu sistem politik yang paling bertahan lama dan kontroversial di Timur Tengah, telah membentuk sejarah modern Suriah. Asalnya berasal dari kebangkitan Partai Ba’ath, namun keluarga Assad-lah yang mengukuhkan kekuasaan ini, menciptakan dinasti yang telah memerintah negara ini selama lebih dari lima dekade.
Hafez al-Assad: Kebangkitan Seorang Otoriter (1970-2000)
Perjalanan politik keluarga Assad dimulai dengan Hafez al-Assad, yang merebut kekuasaan pada 1970 melalui kudeta militer, sebuah momen penting yang dikenal sebagai “Gerakan Korektif”. Sebelum itu, Suriah telah mengalami ketidakstabilan, dengan serangkaian kudeta dan pemerintahan yang lemah setelah kemerdekaannya dari Prancis pada 1946.
Hafez, seorang anggota sekte Alawit di Suriah (sebuah cabang Syiah), naik melalui jajaran militer, membangun basis dukungan yang setia di dalam angkatan bersenjata. Sebagai Menteri Pertahanan Suriah, ia memposisikan dirinya sebagai seorang penguasa yang mampu mengembalikan stabilitas. Dengan merebut kekuasaan, Hafez mengukuhkan kontrolnya dan dengan cepat menghilangkan saingan, mengonsolidasikan aparat politik dan militer di bawah otoritasnya.

Di bawah Hafez, Suriah menjadi negara satu partai dengan Partai Ba’ath—sebuah gerakan sosialis pan-Arab—sebagai inti kekuasaan. Regim ini dicirikan oleh pemerintahan otoriter, dengan kombinasi penindasan politik, kekuatan polisi rahasia, dan kontrol ketat atas kebebasan sipil. Meski ada penindasan, Hafez tetap populer di beberapa kalangan dengan mempromosikan pembangunan ekonomi, memperkuat peran Suriah di dunia Arab, dan memposisikan negara sebagai pemain kunci dalam geopolitik Timur Tengah.
Kebijakan luar negeri Hafez yang paling signifikan adalah konfrontasinya dengan Israel. Setelah Perang Enam Hari pada 1967, ketika Israel merebut Dataran Tinggi Golan dari Suriah, Hafez mengejar kebijakan perlawanan militer, menolak berdialog damai kecuali Israel mengembalikan Dataran Tinggi Golan. Regimnya juga ikut campur di Lebanon, mempertahankan kehadiran militer di sana setelah meletusnya Perang Saudara Lebanon pada 1975, menggunakan Lebanon sebagai cara untuk menunjukkan dominasi Suriah di kawasan tersebut.
Namun, pemerintahan Hafez juga dicirikan oleh penindasan brutal, terutama pada 1982, ketika regim Assad menghancurkan pemberontakan yang dipimpin oleh Ikhwanul Muslimin di kota Hama. Pembantaian ini, yang menewaskan ribuan orang, menyoroti kesediaan regim untuk menggunakan kekerasan ekstrem guna mempertahankan cengkeramannya pada kekuasaan.
Bashar al-Assad: Pewaris Dinasti (2000-Sekarang)
Pada tahun 2000, Hafez al-Assad meninggal dunia, dan putranya, Bashar al-Assad, dipersiapkan untuk menggantikan kekuasaan. Bashar, yang telah dilatih sebagai dokter mata di Barat, awalnya dilihat sebagai seorang reformis dengan pendekatan yang lebih terbuka dan modern. Ia berjanji melakukan reformasi ekonomi dan liberalisasi politik. Namun, janji-janji ini sebagian besar tidak terlaksana, dan tahun-tahun awal pemerintahannya ditandai dengan mempertahankan status quo dari regim otoriter ayahnya.
Bashar awalnya mendapat sambutan positif dari Barat dan berharap untuk menyeimbangkan hubungan Suriah dengan Barat dan dunia Arab. Namun, pemerintahannya segera menjadi lebih represif, dan Suriah terus terisolasi secara politik dari AS dan negara-negara Eropa akibat masalah seperti dukungan Suriah terhadap kelompok militan di kawasan dan sikapnya terhadap konflik Israel-Palestina.
Perang Saudara Suriah, yang dimulai pada 2011, menjadi peristiwa penentu dalam kepresidenan Bashar. Terinspirasi oleh gelombang pemberontakan di Dunia Arab, protes meletus di Suriah menuntut reformasi demokratis, pengakhiran korupsi, dan kebebasan lebih besar. Respons kekerasan pemerintah terhadap para pengunjuk rasa damai meningkatkan situasi menjadi perang saudara skala penuh.
Perang Saudara Suriah (2011-Sekarang)
Perang Saudara Suriah mengubah Bashar al-Assad dari seorang penguasa yang tidak populer dengan oposisi domestik menjadi seorang tokoh yang pemerintahannya bergantung pada dukungan eksternal untuk bertahan. Pada awalnya, pasukan Assad menghadapi pemberontakan yang berkembang dari berbagai kelompok pemberontak, termasuk faksi moderat dan ekstremis Islam. Konflik ini dengan cepat menjadi kompleks, dengan banyak pemain internasional yang campur tangan, masing-masing mendukung faksi yang berbeda.
Rusia dan Iran menjadi sekutu terpenting Assad, memberikan dukungan militer dan finansial. Serangan udara Rusia membantu membalikkan keadaan perang ke pihak Assad, sementara Iran memberikan dukungan militer penting melalui milisi proksinya.
Amerika Serikat dan banyak negara Barat mendukung kelompok oposisi, meskipun keterlibatan mereka terbatas dan dipersulit oleh kebangkitan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah).
Turki juga terlibat, mendukung kelompok pemberontak dan berusaha membatasi otonomi Kurdi di Suriah.
Meski mendapat kecaman luas akibat kekerasan dan penggunaan senjata kimia terhadap warga sipil, regim Assad berhasil bertahan, merebut kembali kota-kota penting seperti Aleppo dan Damaskus. Pada 2018, sebagian besar Suriah telah kembali ke kontrol Assad, tetapi negara itu hancur, dengan ratusan ribu orang tewas dan jutaan orang mengungsi.
Perang ini sangat merusak ekonomi dan infrastruktur Suriah, dan sebagian besar negara tetap berada di bawah kontrol kekuatan asing atau kelompok pemberontak. Namun, pemerintahan Assad tetap bertahan, didorong oleh dukungan Rusia dan Iran, dua kekuatan yang memiliki kepentingan dalam mempertahankan regim Assad sebagai sekutu yang stabil di kawasan.
Warisan Regim Assad
Warisan keluarga Assad adalah perpaduan antara ketakutan dan ketahanan. Bagi banyak warga Suriah, regim Assad mewakili negara otoriter yang telah menghancurkan rakyatnya demi mempertahankan kekuasaan. Penggunaan penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, dan senjata kimia oleh regim ini telah menimbulkan kecaman internasional yang luas. Namun, kekuasaan Assad juga mewakili jaringan elit militer, politik, dan bisnis yang sangat terkonsolidasi, banyak di antaranya yang telah mendapat keuntungan dari sistem ini dan terus melindunginya.
Dalam beberapa tahun terakhir, regim Assad berusaha untuk membangun kembali negara tersebut, tetapi upaya rekonstruksi terhambat oleh sanksi dan ketidakstabilan yang terus berlangsung. Masa depan politik Assad tetap tidak pasti karena Suriah terus terpecah dan kekuatan asing tetap terlibat dalam urusan negara tersebut.
Dinasti Assad sejauh ini telah bertahan dengan memanfaatkan campuran kekejaman, dukungan luar negeri, dan aliansi regional, mempertahankan kekuasaan melalui kekuatan yang tak terbantahkan. Apakah regim ini bisa terus mendominasi Suriah di masa depan masih menjadi pertanyaan besar.