
Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sudah mulai diterapkan menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan. Kenaikan PPN yang berlaku mulai 1 Juli 2022, yang sebelumnya di angka 10%, kini menjadi 11%, dan diprediksi akan mencapai 12% pada tahun-tahun mendatang, memicu kontroversi besar. Banyak pihak menilai kebijakan ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengelola perekonomian dan mengalihkan beban tersebut kepada masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah dan menengah.
PPN adalah pajak yang dikenakan pada barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat, sehingga kenaikannya langsung berdampak pada daya beli konsumen. Masyarakat yang sudah terbebani dengan tingginya biaya hidup, inflasi, dan ketidakpastian ekonomi akibat pandemi COVID-19 kini harus menghadapi lonjakan harga barang dan jasa yang lebih mahal. Dari makanan sehari-hari hingga produk kebutuhan pokok, semuanya terimbas oleh kenaikan tarif pajak ini. Meskipun pemerintah menjelaskan bahwa kebijakan ini diperlukan untuk memperbaiki defisit anggaran negara dan memperkuat keuangan publik, banyak yang berpendapat bahwa keputusan ini justru semakin memperburuk kondisi sosial-ekonomi di tingkat masyarakat.
Kritik terhadap kebijakan ini semakin kuat karena adanya ketimpangan antara penerimaan pajak yang semakin meningkat dengan kualitas layanan publik yang dirasakan oleh rakyat. Sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang masih banyak membutuhkan perhatian, tidak menunjukkan perbaikan signifikan meskipun pemerintah terus meningkatkan pajak. Sebagian besar masyarakat merasa bahwa alih-alih mendapatkan manfaat langsung dari kebijakan tersebut, mereka justru semakin terpuruk dalam kesulitan ekonomi.
Beberapa ekonom dan pengamat politik juga menyarankan bahwa pemerintah seharusnya lebih fokus pada efisiensi pengelolaan anggaran dan reformasi struktural yang lebih mendasar. Mereka berpendapat bahwa alternatif lain, seperti memperluas basis pajak dengan menargetkan sektor-sektor yang selama ini belum tersentuh pajak atau melakukan pemotongan anggaran yang tidak produktif, bisa menjadi solusi yang lebih adil dan efektif. Namun, banyak yang merasa bahwa kebijakan ini justru menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mencari solusi yang lebih berpihak kepada rakyat kecil.
Di sisi lain, sektor bisnis, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), juga merasakan dampak langsung dari kenaikan PPN. Biaya operasional mereka meningkat, sementara daya beli konsumen menurun. Banyak UMKM yang terpaksa menaikkan harga barang dan jasa mereka untuk menutupi kenaikan pajak, yang pada gilirannya membuat mereka kehilangan pelanggan. Hal ini menciptakan lingkaran setan yang merugikan perekonomian secara keseluruhan.
Dengan berbagai protes dan ketidakpuasan yang berkembang di masyarakat, banyak yang bertanya-tanya apakah kebijakan ini benar-benar tepat waktu dan tepat sasaran. Apakah kebijakan ini benar-benar akan menguntungkan jangka panjang bagi perekonomian Indonesia, atau justru akan membebani rakyat yang sudah cukup menderita akibat tekanan ekonomi? Pertanyaan-pertanyaan ini terus mengemuka, sementara pemerintah harus segera mencari jalan tengah untuk memastikan bahwa kebijakan fiskal yang diterapkan tidak semakin memperburuk ketidakadilan sosial dan ekonomi di tanah air.