
Tasikmalaya (30/07) – Pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis asrama dan nilai-nilai Islam memiliki peran penting dalam membentuk karakter generasi muda. Namun, munculnya beberapa kasus kekerasan seksual di sejumlah pesantren menunjukkan bahwa aspek perlindungan anak masih memerlukan perhatian serius di lingkungan pendidikan.
Dalam rangka merespons kondisi tersebut, Serikat Ekonomi Pesantren (SEP) menggelar kegiatan Sosialisasi Pola Hidup Bersih dan Sehat serta Kampanye Pesantren Ramah Anak yang bertempat di Pondok Pesantren Sukamanah, Kabupaten Tasikmalaya, pada Selasa (30/7). Kegiatan ini dihadiri oleh lebih dari 110 peserta dari berbagai pesantren di wilayah Tasikmalaya.
Data di Lapangan
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang 2023 tercatat 379 kasus kekerasan seksual terhadap anak di lembaga pendidikan, dengan 62 kasus terjadi di pesantren. Angka ini diperkirakan jauh lebih besar karena banyak korban memilih diam akibat relasi kuasa, tekanan sosial, dan ketiadaan sistem pelaporan yang aman.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) juga mengungkapkan bahwa 1 dari 3 anak Indonesia pernah mengalami kekerasan, baik fisik, emosional, maupun seksual. Dalam konteks pesantren, anak-anak yang tinggal jauh dari pengawasan orang tua berada dalam kondisi yang lebih rentan terhadap kekerasan.
Kekerasan Seksual: Luka yang Dalam dan Berkepanjangan
Kekerasan seksual pada anak bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga meninggalkan luka yang dalam: trauma psikologis, gangguan kejiwaan, hingga kehilangan masa depan. Beberapa korban bahkan mengalami kehamilan di luar nikah, putus sekolah, dan penolakan dari keluarga maupun lingkungan.
Suara Aktivis Perempuan
Salah satu pemateri dalam kegiatan ini, Ibu An’an Yuliati, S.I.P, seorang aktivis perempuan Kabupaten Tasikmalaya, menyampaikan urgensi pendidikan anti kekerasan seksual di lingkungan pesantren. “Sebanyak 34,51% peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual. Maka penting memahami urgensi pendidikan anti kekerasan seksual di lingkungan pesantren serta pentingnya membangun sistem perlindungan dan kesadaran yang berbasis nilai keagamaan,” tegasnya di hadapan para peserta.
Menuju Pesantren Ramah Anak
Menanggapi kondisi ini, para peserta dan narasumber menyerukan pentingnya transformasi menuju Pesantren Ramah Anak, yaitu pesantren yang:
Menerapkan kebijakan Zero Tolerance terhadap kekerasan.
Menyediakan sistem pelaporan aman dan rahasia bagi korban.
Melakukan pelatihan perlindungan anak bagi ustadz/ustadzah dan pengelola.
Melibatkan santri sebagai agen pencegahan kekerasan, seperti melalui forum anak.
Menyusun sistem rekrutmen tenaga pengajar yang berlandaskan integritas dan akuntabilitas.
Rekomendasi Pencegahan
Langkah-langkah konkret yang disarankan dalam kegiatan ini antara lain:
Audit perlindungan anak secara berkala oleh dinas terkait dan Kementerian Agama.
Penerapan SOP perlindungan anak di setiap pesantren, termasuk prosedur pelaporan dan pendampingan.
Pelatihan modul pencegahan kekerasan seksual bagi seluruh civitas pesantren.
Kemitraan strategis dengan UPTD PPA, lembaga perlindungan anak, dan tenaga psikolog.
Penegakan regulasi dan sanksi hukum tegas terhadap pelaku kekerasan.
Keterlibatan aktif komite santri dan wali santri dalam pengawasan dan pemantauan perkembangan anak.
“Pesantren seharusnya menjadi tempat yang aman untuk tumbuh, belajar, dan beribadah. Tidak ada alasan untuk mentolerir kekerasan seksual dalam bentuk apapun. Kita semua bertanggung jawab untuk menjadikan pesantren sebagai lingkungan ramah anak,” demikian bunyi pernyataan dalam rilis resmi kegiatan.
Gerakan bersama menuju Pesantren Ramah Anak adalah langkah penting untuk mewujudkan lingkungan pendidikan Islam yang aman, penuh kasih sayang, dan menjunjung tinggi hak serta martabat setiap anak.